[Disarikan dari Al Muntakhobat karya Hadhrotus Syaikh Ahmad Asrori Al Ishaqi RA].
Syukur merupakan akhlak ketuhanan dan termasuk sebahagian dari maqom tertinggi seorang salik,
pakaian orang-orang yang berma'rifat dan hiasan orang-orang yang
didekatkan dan disampaikan ke pangkuan Allah SWT. Allah SWT berfirman: "Jika
kamu meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya Allah melipat
gandakan balasannya kepadamu dan mengampuni kamu. Dan Allah Maha
Pembalas jasa lagi Maha Penyantun" [Q.S. At Taghobun: 17].
Anak
cucu Adam sejak awal pertumbuhan, awal terciptanya dan keluar dari
rahim ibu mereka mempunyai gelar dan ditandai dengan kebodohan dan tidak
berilmu. Allah SWT berfirman: "Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui apapun." [QS. An
Nahl : 78]. Lalu Allah SWT menganugerahi keistimewaan kepada sebahagian
mereka dengan keistimewaan bantuan dan pertolongan-Nya. Allah SWT
memilih mereka sebagai orang-orang yang mendapatkan petunjuk dan
orang-orang yang menjadi kekasih-Nya, dimana Allah SWT menjadikan semua
sebab dan perantara untuk menghasilkan Ilmu tersebut. Allah SWT
berfirman: "Dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati." [QS.
An Nahl: 78]. Lalu Allah SWT menyatakan penyandaran kepada anak cucu
Adam dan menetapkan derajat yang tinggi, dekat dan sampai di sisi-Nya
dengan adanya syukur kepada-Nya. Allah SWT berfirman: "Agar kamu bersyukur." [QS. An Nahl: 78].
Marilah kita melihat, mempelajari dan
memikirkan perilaku Baginda Habibillah Rasulullah Muhammad SAW. Beliau
SAW melakukan solat sehingga kedua kaki mulia beliau bengkak agar
menjadi hamba Allah yang banyak bersyukur. Beliau SAW ditanya: "Wahai
Rasulullah, bukankah Allah telah mengampuni segala dosamu yang telah
lewat dan yang akan datang ?" Beliau SAW menjawab: "Aku ingin menjadi
hamba yang banyak bersyukur” [H.R. Bukhori-Muslim].
Keadaan seorang hamba adakalanya bersyukur, diam atau mengadu. Jika ia bersyukur maka ia adalah asy syaakir (orang yang bersyukur), jika diam maka ia adalah ash shobir (orang yang bersabar). Dan jika ia mengadu kepada selain Allah, maka ia adalah asy syaaki
(orang yang mengadu kepada selain-Nya). Merasa bodoh, hina, nista,
rendah diri, merasa butuh, tercepit dan mendekatkan diri (Jawa: kepepet dan mepet)
kepada Allah SWT dalam segala hal adalah merupakan suatu keluhuran dan
kemuliaan, sedangkan mengadu kepada selain Allah SWT adalah merupakan
kehinaan dan kenistaan. Allah SWT berfirman: "Sesungguhnya
apa yang kamu sembah selain Allah itu adalah berhala, dan kamu membuat
dusta. Sesungguhnya yang kamu sembah selain Allah itu tidak mampu
memberikan rezeki kepadamu, maka mintalah rezeki itu di sisi Allah, dan
sembahlah Dia dan bersyukurlah kepada-Nya. Hanya kepada-Nya-lah kamu
akan dikembalikan." [Q.S. Al Ankabut: 17 ].
Diriwayatkan
dari Sayyidina Anas RA, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: "Tidak ada
suatu nikmat, meskipun masanya sudah lewat, dimana seorang hamba
memperbaharui syukur atas nikmat tersebut, kecuali Allah SWT akan
memperbaharui pahala untuknya. Dan tidak ada suatu musibah, meskipun
masanya sudah lewat, di mana seorang hamba memperbaharui istirja' (membaca innaa lillaaHhi wa innaa ilaiHhi raaji'un),
kecuali Allah SWT akan memperbaharui pahala untuknya. Mensyukuri atas
nikmat akan meringankan beban yang berat, dan bersabar atas kesusahan
dan kesulitan akan memelihara, menjaga dan mengumpulkan buah yang akan
dipetik."[1]
Menurut bahasa, asal kata syukur dipakai dalam ungkapan orang arab: "daabatun syakuur",
yakni ketika binatang ternak kelihatan gemuk karena makanan yang
diberikan padanya. Imam Al Jauhari RA berkata: "Binatang ternak disebut asy syakur jika ia mencukupi dengan makanan yang sedikit." Semakna dengan ini, ungkapan seseorang: "SyukruHhu ta'ala"
maksudnya bahwa Allah memberikan pahala yang banyak atas amal yang
sangat sedikit." Oleh karena itu, syukur menurut bahasa adalah tambahan.
Dalam bahasa arab dikatakan: "Syakarat Ad Dabbah, tasykuru, syukran",
maksudnya binatang ternak kelihatan gemuk karena makanan yang
diberikan. Dalam bahasa, syukur diterangkan sebagai perbuatan yang
timbul akibat dorongan rasa mengagungkan Allah Dzat Yang Maha Pemberi
nikmat, ditinjau dari segi bahwa Allah telah memberikan nikmat kepada
orang yang bersyukur dan kepada orang lain.
Dalam pengertian istilah,
syukur adalah mendayagunakan semua kenikmatan yang dianugerahkan kepada
seorang hamba untuk tujuan apa ia diciptakan, yakni untuk ibadah,
khidmah atau ma'rifat. Hakikat syukur menurut Ulama Muhaqiqun adalah
mengakui kenikmatan yang dianugerahkan Allah Dzat Yang Maha Pemberi
nikmat, disertai dengan rasa lemah, bodoh, hina dan nista serta rendah
diri. Pengertian ini sebenarnya merupakan penyebab syukur, bukan hakikat
dari pada syukur.
Berdasarkan pengertian ini Allah SWT boleh disifati dengan Asy Syakur secara majaz (kiasan) bukan secara hakiki, sebab rasa lemah, bodoh, hina dan nista serta rendah diri itu mustahil bagi Allah. Oleh karenanya, kata syakur
yang disandarkan pada Allah mempunyai pengertian bahwa Allah SWT
membalas hamba-hamba-Nya, dan memberi pahala atas syukur mereka,
sehingga balasan syukur itu dinamakan syukran. Allah SWT berfirman: "Dan
balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa
mema'afkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas (tanggungan) Allah.
Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang dlalim." [QS. Asy Syura: 40].
Adapun
syukur diertikan bahwa Allah adalah Dzat Yang Maha Pemberi pahala
kepada hamba-hamba-Nya yang ta'at dan soleh, sebagaimana yang dikatakan
bahwa syukur adalah memuji kepada Dzat yang berbuat baik dengan
menuturkan kebaikan-kebaikan-Nya, maka boleh menyandarkan kata syakur kepada Allah secara hakiki.
Dari
pemaparan di atas, tidak ada kemusykilan lagi, bahwa Allah SWT memuji
hamba-hamba-Nya yang ta'at dan soleh dengan menyebutkan ketaatan mereka,
dan ini juga termasuk kebaikan yang dilakukan oleh Allah. Seorang hamba
juga dapat disebut syakur, karena memuja dan memuji Allah
dengan menyebutkan nikmat-nikmat-Nya, dan hal ini juga termasuk bentuk
perbuatan baik yang agung. Maksudnya, bahwa kebaikan seorang hamba
kepada Tuhannya adalah berbakti kepada Allah SWT, sedangkan kebaikan
Allah Yang Maha Haq kepada hamba-Nya adalah memberi kenikmatan berupa
pertolongan untuk berbuat syukur kepada-Nya. Syukur seorang hamba;
intipati yang utama adalah mengucapkan dengan lisan dan mengakui dengan
hati atas nikmat-nikmat yang dianugerahkan oleh Allah, disertai dengan
sikap tenang dan teduhnya anggota badan.
Ditinjau dari intipati syukur dibahagi menjadi tiga:
1. Syukur dengan lisan, iaitu pengakuan seorang hamba atas nikmat yang disertai rasa tenang, teduh, merasa bodoh, hina dan nista.
2. Syukur dengan badan dan anggota badan, iaitu pengabdian seorang hamba dengan memenuhi, mengabdi dan berkhidmah kepada Allah SWT.
3. Syukur
dengan hati, yaitu bersimpuhnya seorang hamba atas dasar kemuliaan,
keindahan, kebesaran, keagungan dan kesempurnaan Allah SWT, dengan
selalu menjaga kemuliaan-Nya.
Syukur
dengan lisan hanya sekedar syukur secara bahasa saja. Syukur dengan
anggota badan merupakan syukur secara bahasa dan istilah, dengan
memandang cakupannya pada anggota lahir dan anggota bathin. Sedangkan
syukur dengan hati adalah dengan bersimpuhnya seorang hamba atas dasar
rasa menyaksikan kemuliaan, keindahan, kebesaran, keagungan dan
kesempurnaan Allah SWT. Yakni, hatinya selalu menghadirkan
dan melihat bahwa setiap anugerah dan kemuliaan itu datangnya dari
Allah semata. Syaratnya adalah adanya kekuatan roja' (harapan)
akan diterima di sisi Allah, yang disertai dengan selalu menjaga (aturan
Allah) dan menyaksikan kemuliaan, keindahan, kebesaran, keagungan dan
kesempurnaan Allah SWT, serta melaksanakan hakikat mengikuti Baginda
Habibillah Rasulullah Muhammad SAW dengan penuh tanggung jawab dan tanpa
adanya keinginan untuk diberi atau tidak. Sayyiduna Asy Syaikh Khoirun
Nassaj RA berkata: "Harta warisan amal-amalmu adalah sesuatu yang layak
pada semua perbuatanmu. Oleh kerana itu, carilah harta warisan
anugerah dan kemuliaan-Nya, kerana hal itu jauh lebih utama bagimu."
Menurut sebahagian Ulama, syukur yang disandarkan pada maqom-maqom semua orang yang soleh itu ada tiga:
1. Syukur
orang-orang alim, yaitu mensyukuri dengan lisan mereka, sebab tidak ada
ilmu sedikitpun di sisi mereka kecuali harus disyukuri dengan lisan.
2. Syukur yang menjadi sifat orang-orang yang ahli ibadah, yaitu dengan perbuatan dan ketaatan mereka.
3. Syukur Ahli Ma'rifat, yaitu dengan istiqomah dalam bersyukur pada semua ahwal mereka, mereka pindah dari amal-amal anggota lahir menuju pada perilaku-perilaku hati.
Dari
uraian ini, jika kita mengetahui makna orang yang soleh, yaitu orang
yang menegakkan hak-hak Allah Yang Maha Haq dan hak-hak makhluk, nescaya
kita akan faham penjelasan di atas.
[Disarikan dari Al Muntakhobat karya Hadhrotus Syaikh Ahmad Asrori Al Ishaqi RA].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar