Selasa, 20 November 2012

Bagaimanakah Kita Bersyukur?


E-mail Print PDF
Sayyiduth Thoifah Asy Syaikh Abul Qosim Junaid Al Baghdady RA berkata: "Secara umum orang bersyukur mempunyai kepentingan dan mencari tambahan untuk dirinya, sehingga ia bersimpuh di sisi Allah SWT atas kepentingan dirinya." Ertinya seorang hamba dikatakan sempurna dalam bersyukur kepada Allah SWT, jika ia menempatkan dan meletakkan syukurnya hanya kerana meraih redha Allah Yang Maha Luhur, bukan sebagai balasan atas nikmat yang datang dari-Nya. Kerana hakikat nikmat adalah murni kebaikan Allah kepadanya semata. Secara umum orang-orang yang bersyukur kerana alasan, dorongan atau kepentingan yang sangat tampak jelas dan boleh diindera berhenti dan condong serta tergiur pada bahagian nafsunya, yakni meminta dan meraih tambahan. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam firman Allah SWT: "Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allah-lah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui" [QS.  Al anfal: 17].
Ditinjau dari asbabun nuzul, ayat di atas ditujukan kepada Bani Israil, akan tetapi yang menjadi ukuran adalah keumuman penyuntingan  bukan kekhushusan latar belakang turunnya ayat. Sehingga maksud ayat di atas itu umum, yaitu jika kalian bersyukur, nescaya Kami tidak akan mengganti kenikmatan yang telah Kami anugerahkan kepada kalian, berupa keselamatan, kemenangan, membinasakan musuh-musuh Kami dan kenikmatan-kenikmatan lain yang tidak bisa dihitung jumlahnya. Dan jika kalian membalas kenikmatan tersebut dengan keimanan, kebaktian dan keta'atan, nescaya Kami akan terus menambahkan nikmat-nikmat kepada kalian. Demikian juga sebalik­nya, jika kalian mengingkari nikmat-nikmat, nescaya siksa Kami sangat pedih.
Sayyiduna Sayyiduth Thoifah Asy Syaikh Abul Qosim Junaid Al Baghdady RA juga berkata: "Syukur adalah jika engkau tidak melihat dan merasa bahawa dirimu berhak mendapatkan suatu nikmat." Maksud ungkapan ini adalah seorang hamba selalu dan senantiasa menjaga kemuliaan dan melaksanakan adab, kerana jika ia tidak melihat dan merasa bahawa dirinya berhak pada suatu nikmat, akan tetapi ia melihat dan merasakan bahwa suatu nikmat merupakan anugerah dan kebaikan yang murni dari Allah SWT, maka ia akan merasa malu kepada Allah jika keberadaan syukur tersebut sebagai balasan atas nikmat-Nya. Sebab ketika ia menganggap syukur sebagai sebuah kenikmatan (bukan kenikmatan yang awal), maka ia akan selalu butuh pada syukur yang lain. Sehingga selamanya ia akan terbebas dari perasaan dan anggapan bahwa dirinya adalah orang yang bersyukur.
Hakikat syukur dikembalikan pada tiga perilaku; menegakkan kewajiban-kewajiban, mengikuti tuntunan, bimbingan dan suritauladan Baginda Habibillah Rasullullah Muhammad SAW dan memperindah akhlak kepada sesama mahluk, sebagai­mana yang telah disabdakan oleh Baginda Habibillah Rasulullah Muhammad SAW: "Bertakwalah kepada Allah di manapun kamu berada, ikutilah perbuatan jelek dan buruk dengan kebaikan, dan berakhlaklah kepada manusia dengan akhlak yang baik dan terpuji" [H.R. Ahmad dll.]. Tiga perilaku ini merupakan sesuatu yang prinsip. Barang siapa meninggalkannya, maka ia tidak akan pernah sampai dan disampaikan di sisi Allah SWT.
Dari penjelasan di atas, maka jelaslah, pengakuan seseorang bahwa ia memiliki suatu nikmat tidaklah sah jika ditinjau dari segi hakikatnya. Yakni, ia menyandarkan suatu nikmat kepada dirinya, berupa nikmat-nikmat yang hakikatnya merupakan pinjaman dan milik Allah. Pengakuan sesaorang pada sesuatu yang bukan miliknya itu sangat tidak dibenarkan menurut syarak, akal sihat, dan harga diri. Kerana segala yang dipinjamkan itu akan dikembalikan kepada pemiliknya (Allah). Lagi pula semua hak milik yang dikecapi itu akan sirna dan hilang kerana adanya hak milik yang hakiki (Allah Tuhan semesta alam). Oleh kerana itu, sudah seharusnya hati seorang hamba selalu merasa butuh, pecah, bodoh, tidak berdaya, rendah, hina, nista dan terdesak lalu mendekatkan diri (Jawa: kepepet terus mepet) kepada Allah  Ta'ala dalam segala hal.
Rasulullah SAW bersabda: "Tidak ada seseorang yang lebih cemburu dari pada Allah. Oleh kerananya, Allah mengharam­kan segala yang keji, baik yang lahir maupun yang bathin. Tidak ada sesaorang yang lebih mencintai untuk dipuji dari pada Allah. Oleh kerananya, Dia memuji Dzat-Nya sendiri. Dan tidak ada orang yang lebih mencintai untuk menerima alasan dari pada Allah. Oleh kerananya, Dia menurunkan Al Qur'an dan mengutus para Rosul" [H.R. Bukhori]. Yang dimaksud cemburu pada hak Allah Ta'ala adalah tercegahnya sesuatu milik Allah baik itu hak atau sifat untuk diamalkan, disandarkan atau diterapkan pada selain Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda: Allah SWT berfirman: "Kebesaran dan Keagungan adalah pakaian-Ku (Sifat-Ku) dan Sombong adalah selendang-Ku (Sifat-Ku), barang siapa merebut kedua sifat tersebut dari-Ku, nescaya Aku akan membinasakannya." [H.R. Abu Dawud dll.].
Sayyiduna Asy Syaikh Abu Utsman Al Maghrobi RA berkata: "Syukur adalah mengetahui dan mengerti serta merasa lemah dan tidak mampu untuk bersyukur." Ertinya, ketika seorang hamba melihat, mengerti dan merasakan bahwa syukurnya merupakan nikmat yang di­anugerahkan kepadanya, maka ia diperintahkan untuk mensyukuri nikmat tersebut. Dan syukurnya yang kedua juga me­rupakan nikmat yang lain, sehingga ia diperintahkan untuk mensyukurinya, dan seterusnya akan berantai-rantai ti­dak akan habis dan putus sampai ajal menghampiri­nya. Hingga akhirnya ia menjadi lemah dan tidak mampu untuk bersyukur dalam keadaan apapun. Dalam hal ini Sayyiduna Abu Bakar Ash Shiddiq RA berkata: "Merasa lemah dan tidak mampu menemukan penemuan adalah hakikat penemuan." Beliau juga berkata: "Maha Suci Dzat Yang tidak menjadikan jalan untuk berma'rifat kepada-Nya, kecuali dengan merasa lemah dan tidak mampu untuk berma'rifat kepada-Nya."
Oleh kerananya bukti dan dalil keabsahan ilmu seorang hamba yang disertai dengan kesungguhan dalam beramal adalah pengakuan dirinya bahwa ia lemah dan tidak mampu menemukan hakikat Dzat Yang Maha Luhur, sehingga dalam mengetahui dan mengerti pada Dzat Yang Maha Luhur hanya sebatas pada makna lahir dari Asma-asma dan Sifat-sifat Allah SWT semata. Dengan landasan itu, maka dapat kita katakan bahwa: "Mensyukuri perbuatan syukur itu lebih sempurna dari pada syukur itu sendiri."
Untuk lebih jelasnya, lihatlah bahawa syukurmu itu terlaksana kerana taufiq-pertolongan Allah Ta'ala. Dan taufiq-pertolongan itu termasuk nikmat yang paling agung, sehingga engkau mensyukuri perbuatan syukur, lalu engkau mensyukuri pada syukur atas perbuatan syukur, dan seterusnya sampai tidak ada batas dan selesainya serta tidak ada kemampuan  baginya untuk memenuhinya.(*)
 ----
[1] Artikel ini merupakan lanjutan dari artikel edisi 19 dengan judul Hakekat Syukur yang disarikan dari kitab Al Muntakhobaat karya Hadlrotus Syaikh Ahmad Asrori Al Ishaqi RA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar