Sayyiduth
Thoifah Asy Syaikh Abul Qosim Junaid Al Baghdady RA berkata: "Secara
umum orang bersyukur mempunyai kepentingan dan mencari tambahan untuk
dirinya, sehingga ia bersimpuh di sisi Allah SWT atas kepentingan
dirinya." Ertinya seorang hamba dikatakan sempurna dalam bersyukur
kepada Allah SWT, jika ia menempatkan dan meletakkan syukurnya hanya
kerana meraih redha Allah Yang Maha Luhur, bukan sebagai balasan atas
nikmat yang datang dari-Nya. Kerana hakikat nikmat adalah murni kebaikan
Allah kepadanya semata. Secara umum orang-orang yang bersyukur kerana
alasan, dorongan atau kepentingan yang sangat tampak jelas dan boleh
diindera berhenti dan condong serta tergiur pada bahagian nafsunya,
yakni meminta dan meraih tambahan. Sebagaimana yang telah dijelaskan
dalam firman Allah SWT: "Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang
membunuh mereka, akan tetapi Allah-lah yang membunuh mereka, dan bukan
kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar.
(Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi
kemenangan kepada orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik.
Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui" [QS. Al anfal: 17].
Ditinjau dari asbabun nuzul, ayat di atas ditujukan kepada Bani Israil, akan tetapi yang menjadi ukuran adalah keumuman penyuntingan bukan
kekhushusan latar belakang turunnya ayat. Sehingga maksud ayat di atas
itu umum, yaitu jika kalian bersyukur, nescaya Kami tidak akan mengganti
kenikmatan yang telah Kami anugerahkan kepada kalian, berupa
keselamatan, kemenangan, membinasakan musuh-musuh Kami dan
kenikmatan-kenikmatan lain yang tidak bisa dihitung jumlahnya. Dan jika
kalian membalas kenikmatan tersebut dengan keimanan, kebaktian dan
keta'atan, nescaya Kami akan terus menambahkan nikmat-nikmat kepada
kalian. Demikian juga sebaliknya, jika kalian mengingkari
nikmat-nikmat, nescaya siksa Kami sangat pedih.
Sayyiduna
Sayyiduth Thoifah Asy Syaikh Abul Qosim Junaid Al Baghdady RA juga
berkata: "Syukur adalah jika engkau tidak melihat dan merasa bahawa
dirimu berhak mendapatkan suatu nikmat." Maksud ungkapan ini adalah
seorang hamba selalu dan senantiasa menjaga kemuliaan dan melaksanakan
adab, kerana jika ia tidak melihat dan merasa bahawa dirinya berhak pada
suatu nikmat, akan tetapi ia melihat dan merasakan bahwa suatu nikmat
merupakan anugerah dan kebaikan yang murni dari Allah SWT, maka ia akan
merasa malu kepada Allah jika keberadaan syukur tersebut sebagai balasan
atas nikmat-Nya. Sebab ketika ia menganggap syukur sebagai sebuah
kenikmatan (bukan kenikmatan yang awal), maka ia akan selalu butuh pada
syukur yang lain. Sehingga selamanya ia akan terbebas dari perasaan dan
anggapan bahwa dirinya adalah orang yang bersyukur.
Hakikat
syukur dikembalikan pada tiga perilaku; menegakkan kewajiban-kewajiban,
mengikuti tuntunan, bimbingan dan suritauladan Baginda Habibillah
Rasullullah Muhammad SAW dan memperindah akhlak kepada sesama mahluk, sebagaimana yang telah disabdakan oleh Baginda Habibillah Rasulullah Muhammad SAW: "Bertakwalah
kepada Allah di manapun kamu berada, ikutilah perbuatan jelek dan buruk
dengan kebaikan, dan berakhlaklah kepada manusia dengan akhlak yang
baik dan terpuji" [H.R. Ahmad dll.]. Tiga perilaku ini merupakan
sesuatu yang prinsip. Barang siapa meninggalkannya, maka ia tidak akan
pernah sampai dan disampaikan di sisi Allah SWT.
Dari
penjelasan di atas, maka jelaslah, pengakuan seseorang bahwa ia
memiliki suatu nikmat tidaklah sah jika ditinjau dari segi hakikatnya.
Yakni, ia menyandarkan suatu nikmat kepada dirinya, berupa nikmat-nikmat
yang hakikatnya merupakan pinjaman dan milik Allah. Pengakuan sesaorang
pada sesuatu yang bukan miliknya itu sangat tidak dibenarkan menurut
syarak, akal sihat, dan harga diri. Kerana segala yang dipinjamkan itu
akan dikembalikan kepada pemiliknya (Allah). Lagi pula semua hak milik
yang dikecapi itu akan sirna dan hilang kerana adanya hak milik yang
hakiki (Allah Tuhan semesta alam). Oleh kerana itu, sudah seharusnya
hati seorang hamba selalu merasa butuh, pecah, bodoh, tidak berdaya,
rendah, hina, nista dan terdesak lalu mendekatkan diri (Jawa: kepepet terus mepet) kepada Allah Ta'ala dalam segala hal.
Rasulullah SAW bersabda: "Tidak
ada seseorang yang lebih cemburu dari pada Allah. Oleh kerananya, Allah
mengharamkan segala yang keji, baik yang lahir maupun yang bathin.
Tidak ada sesaorang yang lebih mencintai untuk dipuji dari pada Allah.
Oleh kerananya, Dia memuji Dzat-Nya sendiri. Dan tidak ada orang yang
lebih mencintai untuk menerima alasan dari pada Allah. Oleh kerananya,
Dia menurunkan Al Qur'an dan mengutus para Rosul" [H.R. Bukhori].
Yang dimaksud cemburu pada hak Allah Ta'ala adalah tercegahnya sesuatu
milik Allah baik itu hak atau sifat untuk diamalkan, disandarkan atau
diterapkan pada selain Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda: Allah SWT
berfirman: "Kebesaran dan Keagungan adalah pakaian-Ku (Sifat-Ku) dan
Sombong adalah selendang-Ku (Sifat-Ku), barang siapa merebut kedua
sifat tersebut dari-Ku, nescaya Aku akan membinasakannya." [H.R. Abu Dawud dll.].
Sayyiduna
Asy Syaikh Abu Utsman Al Maghrobi RA berkata: "Syukur adalah mengetahui
dan mengerti serta merasa lemah dan tidak mampu untuk bersyukur."
Ertinya, ketika seorang hamba melihat, mengerti dan merasakan bahwa
syukurnya merupakan nikmat yang dianugerahkan kepadanya, maka ia
diperintahkan untuk mensyukuri nikmat tersebut. Dan syukurnya yang kedua
juga merupakan nikmat yang lain, sehingga ia diperintahkan untuk
mensyukurinya, dan seterusnya akan berantai-rantai tidak akan habis dan
putus sampai ajal menghampirinya. Hingga akhirnya ia menjadi lemah dan
tidak mampu untuk bersyukur dalam keadaan apapun. Dalam hal ini
Sayyiduna Abu Bakar Ash Shiddiq RA berkata: "Merasa lemah dan tidak
mampu menemukan penemuan adalah hakikat penemuan." Beliau juga berkata:
"Maha Suci Dzat Yang tidak menjadikan jalan untuk berma'rifat
kepada-Nya, kecuali dengan merasa lemah dan tidak mampu untuk
berma'rifat kepada-Nya."
Oleh
kerananya bukti dan dalil keabsahan ilmu seorang hamba yang disertai
dengan kesungguhan dalam beramal adalah pengakuan dirinya bahwa ia lemah
dan tidak mampu menemukan hakikat Dzat Yang Maha Luhur, sehingga dalam
mengetahui dan mengerti pada Dzat Yang Maha Luhur hanya sebatas pada
makna lahir dari Asma-asma dan Sifat-sifat Allah SWT semata. Dengan
landasan itu, maka dapat kita katakan bahwa: "Mensyukuri perbuatan
syukur itu lebih sempurna dari pada syukur itu sendiri."
Untuk lebih jelasnya, lihatlah bahawa syukurmu itu terlaksana kerana taufiq-pertolongan Allah Ta'ala. Dan taufiq-pertolongan
itu termasuk nikmat yang paling agung, sehingga engkau mensyukuri
perbuatan syukur, lalu engkau mensyukuri pada syukur atas perbuatan
syukur, dan seterusnya sampai tidak ada batas dan selesainya serta tidak
ada kemampuan baginya untuk memenuhinya.(*)
----
[1]
Artikel ini merupakan lanjutan dari artikel edisi 19 dengan judul
Hakekat Syukur yang disarikan dari kitab Al Muntakhobaat karya Hadlrotus
Syaikh Ahmad Asrori Al Ishaqi RA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar